Sejarah Kelam Pembantaian G-30 S PKI di Indonesia
Pembantaian dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di sebagian daerah di pulau-pulau lainnya, terutama Sumatera.
Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatera utara dan Bali. Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera sesudahnya.
Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan darat, sehingga banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian ini. Peran angkatan darat dalam peristiwa ini tidak pernah diterangkan secara jelas.
Di beberapa tempat, angkatan bersenjata melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal. Di tempat lain, para vigilante mendahului angkatan bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan.
Di beberapa tempat, milisi tahu tempat bermukimnya komunis dan simpatisannya, sementara di tempat lain tentara meminta daftar tokoh komunis dari kepala desa. Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka mudah ditemukan dalam masyarakat. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyediakan daftar 5.000 orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia.
Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan. Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap "PKI" diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran kiri. Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis.
Warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan harta benda mereka dijarah. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayakmengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas dibantai.
Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai.
Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata.
Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969. Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai berakhirnya pembantaian.
WILAYAH JAWA
Di Jawa, banyak pembunuhan dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santri Jawa untuk mencari anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa. Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya, banyak orang yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang lainnya hanya dituduh atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik.
Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah pasukan komando kepercayaannya ke Jawa tengah, daerah yang memiliki banyak orang komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan pergi dari sana. Pembantaian terhadap orang komunis kemudian dilakukan oleh para pemuda, dengan dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis.
Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 antara partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober. Kelompok Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965 bahwa pembasmian "Gestapu/PKI" merupakan suatu Perang Suci. Pandangan tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatera.
Bagi banyak pemuda, membunuh orang komunis merupakan suatu tugas keagamaan. Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelompok-kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan.
Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948. Para pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap.
Untuk sebagian besar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian berlangsung sampai bertahun-tahun. Di Blitar, ada aksi gerilya yang dilakukan oleh anggota-anggota PKI yang selamat. Aksi tersebut berhasil diberantas pada 1967 dan 1968.
Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok komunis yang bercampur mistisisme tradisional, bersama para pengikutnya membangun pasukan. Dia dan kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah perang perlawanan menghadapi angkatan bersenjata Indonesia.
WILAYAH BALI
Bercermin dari melebarnya perbedaan sosial di seluruh Indonesia pada 1950-an dan awal 1960-an, di pulau Bali meletus konflik antara para pendukung sistem kasta tradisional Balimelawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional itu.
Jabatan pemerintahan, uang dan keuntungan bisnis beralih pada orang-orang komunis pada tahun-tahun akhir masa kepresidenan Soekarno. Sengketa atas tanah dan hak-hak penyewa berujung pada pengambilan lahan dan pembantaian, ketika PKI mempromosikan "aksi unilateral".
Setelah Soeharto berkuasa di Jawa, gubernur-gubernur pilihan Soekarno dicopot dari jabatannya. Orang-orang komunis kemudian dituduh atas penghancuran budaya, agama, serta karakter pulau Bali. Rakyat Bali, seperti halnya rakyat Jawa, didorong untuk menghancurkan PKI.
Sebagai satu-satunya pulau yang didominasi Hindu di Indonesia, Bali tidak memiliki kekuatan Islam yang terlibat di Jawa, dan tuan tanah PNI menghasut pembasmian anggota PKI. Pendeta tinggi Hindu melakukan ritual persembahan untuk menenangkan para roh yang marah akibat pelanggaran yang kelewatan dan gangguan sosial.
Pemimpin Hindu Bali, Ida Bagus Oka, memberitahu umat Hindu: "Tidak ada keraguan [bahwa] musuh revolusi kita juga merupakan musuh terkejam dari agama, dan harus dimusnahkan dan dihancurkan sampai akar-akarnya."
Seperti halnya sebagian Jawa Timur, Bali mengalami keadaan nyaris terjadi perang saudara ketika orang-orang komunis berkumpul kembali. Keseimbangan kekuasaan beralih pada orang-orang Anti-komunis pada Desember 1965, ketika Angkatan Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit Brawijaya tiba di Bali setelah melakukan pembantaian di Jawa.
Komandan militer Jawa mengizinkan skuat Bali untuk membantai sampai dihentikan. Berkebalikan dengan Jawa Tengah tempat angkatan bersenjata mendorong orang-orang untuk membantai "Gestapu", di Bali, keinginan untuk membantai justru sangat besar dan spontan setelah memperoleh persediaan logistik, sampai-sampai militer harus ikut campur untuk mencegah anarki.
Serangkaian pembantaian yang mirip dengan peristiwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh para pemuda PNI berkaus hitam. Selama beberapa bulan, skuat maut milisi menyusuri desa-desa dan menangkap orang-orang yang diduga PKI. Antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000 orang Bali dibantai, sekitar 5 persen dari populasi pulau Bali saat itu, dan lebih banyak dari daerah manapun di Indonesia.
WILAYAH SUMATERA
Tindakan PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis asing di perkebunan-perkebunan di Sumatera memicu aksi balasan yang cepat terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di seluruh Sumatera.
Pemberontakan kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit peristiwa di Sumatera karena banyak mantan pemberontak yang dipaksa untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia.
Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat Sumatera dipandang sebagai "pendudukan suku Jawa". Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu tampaknya adalah transmigrasi penduduk dari Jawa.
JUMLAH KORBAN
Meskipun garis besar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya, dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin diketahui. Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa.
Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah "Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober 1966. Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit penyelidikan internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama".
Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban. Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang. Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang.
Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai, lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia. Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.
Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara "tatap muka", tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.
Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatera utara dan Bali. Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera sesudahnya.
Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan darat, sehingga banyak penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian ini. Peran angkatan darat dalam peristiwa ini tidak pernah diterangkan secara jelas.
Di beberapa tempat, angkatan bersenjata melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal. Di tempat lain, para vigilante mendahului angkatan bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan.
Di beberapa tempat, milisi tahu tempat bermukimnya komunis dan simpatisannya, sementara di tempat lain tentara meminta daftar tokoh komunis dari kepala desa. Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka mudah ditemukan dalam masyarakat. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyediakan daftar 5.000 orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia.
Beberapa cabang PKI melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak mampu melawan. Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap "PKI" diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran kiri. Dalam kasus-kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis.
Warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan harta benda mereka dijarah. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian di Jawa, orang-orang Dayakmengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas dibantai.
Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang samurai Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai.
Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata.
Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969. Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai berakhirnya pembantaian.
WILAYAH JAWA
Di Jawa, banyak pembunuhan dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer mendorong para santri Jawa untuk mencari anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa. Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya, banyak orang yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang lainnya hanya dituduh atau merupakan korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik.
Pada pertengahan Oktober, Soeharto mengirim sejumlah pasukan komando kepercayaannya ke Jawa tengah, daerah yang memiliki banyak orang komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan pergi dari sana. Pembantaian terhadap orang komunis kemudian dilakukan oleh para pemuda, dengan dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis.
Konflik yang pernah pecah pada tahun 1963 antara partai Muslim Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI berubah menjadi pembantaian pada minggu kedua Oktober. Kelompok Muslim Muhammadiyah menyatakan pada awal November 1965 bahwa pembasmian "Gestapu/PKI" merupakan suatu Perang Suci. Pandangan tersebut didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya di Jawa dan Sumatera.
Bagi banyak pemuda, membunuh orang komunis merupakan suatu tugas keagamaan. Di tempat-tempat adanya pusat komunis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kelompok-kelompok Muslim menganggap bahwa mereka adalah korban serangan komunis supaya mereka memperoleh pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan.
Mereka biasanya mengungkit-ungkit Peristiwa Madiun pada tahun 1948. Para pelajar Katolik di daerah Yogyakarta meninggalkan asrama mereka pada malam hari untuk ikut membunuh orang-orang komunis yang tertangkap.
Untuk sebagian besar daerah, pembantaian mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966, namun di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur pembantaian berlangsung sampai bertahun-tahun. Di Blitar, ada aksi gerilya yang dilakukan oleh anggota-anggota PKI yang selamat. Aksi tersebut berhasil diberantas pada 1967 dan 1968.
Mbah Suro, seorang pemimpin kelompok komunis yang bercampur mistisisme tradisional, bersama para pengikutnya membangun pasukan. Dia dan kedelapan puluh pengikutnya terbunuh dalam sebuah perang perlawanan menghadapi angkatan bersenjata Indonesia.
WILAYAH BALI
Bercermin dari melebarnya perbedaan sosial di seluruh Indonesia pada 1950-an dan awal 1960-an, di pulau Bali meletus konflik antara para pendukung sistem kasta tradisional Balimelawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional itu.
Jabatan pemerintahan, uang dan keuntungan bisnis beralih pada orang-orang komunis pada tahun-tahun akhir masa kepresidenan Soekarno. Sengketa atas tanah dan hak-hak penyewa berujung pada pengambilan lahan dan pembantaian, ketika PKI mempromosikan "aksi unilateral".
Setelah Soeharto berkuasa di Jawa, gubernur-gubernur pilihan Soekarno dicopot dari jabatannya. Orang-orang komunis kemudian dituduh atas penghancuran budaya, agama, serta karakter pulau Bali. Rakyat Bali, seperti halnya rakyat Jawa, didorong untuk menghancurkan PKI.
Sebagai satu-satunya pulau yang didominasi Hindu di Indonesia, Bali tidak memiliki kekuatan Islam yang terlibat di Jawa, dan tuan tanah PNI menghasut pembasmian anggota PKI. Pendeta tinggi Hindu melakukan ritual persembahan untuk menenangkan para roh yang marah akibat pelanggaran yang kelewatan dan gangguan sosial.
Pemimpin Hindu Bali, Ida Bagus Oka, memberitahu umat Hindu: "Tidak ada keraguan [bahwa] musuh revolusi kita juga merupakan musuh terkejam dari agama, dan harus dimusnahkan dan dihancurkan sampai akar-akarnya."
Seperti halnya sebagian Jawa Timur, Bali mengalami keadaan nyaris terjadi perang saudara ketika orang-orang komunis berkumpul kembali. Keseimbangan kekuasaan beralih pada orang-orang Anti-komunis pada Desember 1965, ketika Angkatan Bersenjata Resimen Para-Komando dan unit Brawijaya tiba di Bali setelah melakukan pembantaian di Jawa.
Komandan militer Jawa mengizinkan skuat Bali untuk membantai sampai dihentikan. Berkebalikan dengan Jawa Tengah tempat angkatan bersenjata mendorong orang-orang untuk membantai "Gestapu", di Bali, keinginan untuk membantai justru sangat besar dan spontan setelah memperoleh persediaan logistik, sampai-sampai militer harus ikut campur untuk mencegah anarki.
Serangkaian pembantaian yang mirip dengan peristiwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh para pemuda PNI berkaus hitam. Selama beberapa bulan, skuat maut milisi menyusuri desa-desa dan menangkap orang-orang yang diduga PKI. Antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80,000 orang Bali dibantai, sekitar 5 persen dari populasi pulau Bali saat itu, dan lebih banyak dari daerah manapun di Indonesia.
WILAYAH SUMATERA
Tindakan PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis asing di perkebunan-perkebunan di Sumatera memicu aksi balasan yang cepat terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di seluruh Sumatera.
Pemberontakan kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit peristiwa di Sumatera karena banyak mantan pemberontak yang dipaksa untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia.
Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat Sumatera dipandang sebagai "pendudukan suku Jawa". Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu tampaknya adalah transmigrasi penduduk dari Jawa.
JUMLAH KORBAN
Meskipun garis besar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya, dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin diketahui. Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa.
Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah "Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober 1966. Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit penyelidikan internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa Barat terhadap Soeharto dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama".
Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban. Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang. Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang.
Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai, lebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia. Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.
Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara "tatap muka", tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.
Komentar
Posting Komentar